Cinta Bukan satu

Diposting oleh chaldot on Kamis, 05 Juli 2012

taman berhias beribu bunga
bukan satu bunga
aku pemilik taman bunga
bukan pemilik satu bunga

bukan anggrek
bukan mawar
bukan tulip
bukan lili

karena aku pemilik taman bunga
karena aku pecinta seribu bunga
karena aku.......
karena beribu keharusan dalam batin
More aboutCinta Bukan satu

Iblis Istana Raja

Diposting oleh chaldot on Minggu, 13 Mei 2012

ia...
berdiri kokoh...
dengan senyum penuh janji
bertabur kemewahan
penuh dengan rasa aman

terguling namun ia bangkit
terbakar namun ia hidup
dengan rupa yang lain
ia...
akan selalu ada

dalam istana raja
dalam pikiran para penguasa
dalam hati para pembual
dalam darah, nadi dan makanan
para pencuri hak rakyat
More aboutIblis Istana Raja

Uang Panai' (Tadisi Pernikahan Bugis Makassar)

Diposting oleh chaldot on Minggu, 06 Mei 2012

perbincangan antara sesama kaum lelaki di kantin kampus yang akhirnya mencuat tentang sebuah pernikahan, dan  melahirkan beberapa diskusi besar seputar tradisi pernikahan Bugis Makassar, mulai dari tata cara pernikahan sampai dengan uang Panai' (uang Mahar).

Uang Panai' dalam tadisi Bugis Makassar merupakan merupakan sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai sebuah penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata sosial.

Uang Panai' untuk menikahi Gadis Bugis Makassar terkenal tidak sedikit jumlahnya tergantung pada tingkat strata sosial dan pendidikan dari sang gadis, pengambilan keputusan akan besarnya Uang Panai' terkadang dipengaruhi oleh keputusan keluarga perempuan (Saudara ayah ataupun saudara Ibu) oleh karena besarnya Uang Panai' yang terkadang tidak mampu diberikan oleh Sang Lelaki kepada sang perempuan membuat sang pasangan yang telah saling mencintai ini melakukan tindakan diluar dari Tradisi Bugis Makassar yaitu Kawin Lari (Sliariang), 

Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari Suku Bugis Makassar, memenuhi jumlah Uang Panai' di pandang sebagai budaya siri', jadi perempuan yang benar-benar dicintainya merupakan motivasi untuk memenuhi jumlah uang Panai' sebagai simbol akan ketulusannya untuk meminang sang Gadis.


More aboutUang Panai' (Tadisi Pernikahan Bugis Makassar)

Sastra Makassar

Diposting oleh chaldot on Kamis, 03 Mei 2012

Dikalangan orang Makassar, sejak dahulu telah mengenal tentang bahasa berirama atau sastra. Mereka menggunakan sejak dahulu sebagai bahasa sehari-hari, suatu contoh apabila seseorang akan meminang biasanya dicari orang yang mampu bersilat lidah dan melontarkan bahasa-bahasa kiasan atau bahasa tutur, agar pinangannya dapat diterima dipihak wanita. Sama halnya seorang ibu yang menidurkan anak dalam buaian, biasanya didengar irama lagu yang penuh harapan - harapan. Lagu yang dituturkan agar anak dapat dirasuki dengan irama tersebut, kelong atau pantun masih sering diucapkan orang-orang tua kita, pantun yang penuh pesan, pantun yang penuh pendidikan, pantun yang penuh petuah-petuah, sekarang ini telah banyak dilupakan oleh generasi muda, banyak dipinggirkan oleh petuah-petuah yang datang dari barat, kalau didengar isinya malah mengajak ke jalan yang kurang etis.

Macam-macam sastra Makassar

1. Sinrili

Sinrili adalah suatu bentuk kesenian tutur yang sangat popular dikalangan orang makassar, yang dimaksud disini adalah suatu cerita yang tersusun rapi, dengan bahasa yang berirama, tersusun secara puitis biasanya dilagukan oleh ahlinya, yakni seorang pasinrili dan diiringi dengan sebuah instrument gesek yang disebut kesok-kesok atau kerek-kerek gallang (rebab) lantunan irama lagu membawakan rangkaian ceritera yang tersusun baik, seorang pasinrili mampu membawakan sebuah cerita sepanjang malam dengan penuh imaginer, membuat orang terpukau karena tingkah pasinrili.

2. Kelong

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap suku bangsa di Indonesia, memiliki adat istiadat yang berbeda, lain suku lain adat istiadatnya, seperti apa yang dikatakan oleh pepatah:
Lain lubuk lain ikannya,
Lain padang lain belalangnya,
Lain daerah lain pula adat istiadatnya

Di Sulawesi selatan khususnya etnis Makassar, gemar melakukan silat lidah dengan Kelong apalagi dengan kelong sisila-sila, atau berbalas pantun.
Diantaranya pada:
1. persidangan
2. Peminangan
3. Agama
4. Petani
5. Kelautan

contoh kelong Persidangan
Sangnging karaeng mammempo
Sangnging daeng ma jajareng
Tabe karaeng
La makkelongi ataya

Terjemahan:
Para bangsawan bersila
Para daeng duduk rapi
Maaf tuanku
Hambalah akan bernyanyi

I katte ri Turateya
Adaka kipammempoi
Karampuanta
Kipare' tope kalimbu

Terjemahan:
Kami orang yang beradat
Adatlah dijunjung tinggi
Ramah tamahan
Jadikan kain selimut

3. Doangang

Doangang merupakan salah satu jenis puisi lama dalam sastra Makassar yang hampir sama maknanya dengan mantra dalam sastra indonesia. Kata doangang mengandung makna permohonan, permintaan atau harapan. Doangang berbeda dengan jenis sastra lainnya sebab doangang dianggap memiliki berkah dan mengandung kesaktian atau kekuatan gaib bila diyakini oleh pemakainya. Oleh karena itu, hampir seluruh aktivitas masyarakat Makassar pada masa lampau didahului dengan membaca doangang dengan harapan agar mereka selamat dunia akhirat.

Pemakai doangang harus memperhatikan beberapa persyaratan agar doangang yang dibacanya mendapat berkah dari Allah, yaitu tidak boleh membanggakan atau menyombongkan diri. Doa itu tidak diucap pada sembarang waktu dan tempat, harus yakin bahwa doa yang diucapkan itu mempunyai daya gaib, serta dipakai dengan maksud untuk membela diri atau menolong orang.
Umumnya doangang diberikan kepada orang yang akan merantau kenegeri orang jauh dari kampung halaman, doangang ini diberikan oleh tetua adat, dukun atau orang-orang yang dituakan dalam masyarakat Makassar.

berikut contoh doangang yang biasa dipakai dalam keseharian :

doangang punna lanaungko ri butta
I kau butta kuonjo'                     =   wahai tanah yang akan kuinjak
Palewanga' tallasakku               =   luruskanlah jalan hidupku
Eranga' mange                           =  bawalah aku
Ri kaminang Mate'nea               =   ketempat yang paling baik

doangang punna lattinro
kupantinromi tubuku                 =  saya sudah menidurkan tubuh saya
kukalimbu' sahada'ku                =  dengan berselimut syahadat
patampulo maleka '                   =  empat puluh malaikat
anjagaia' i lalang tinro              =  yang menjagaku dalam tidur
saba' allahu ta'ala                      =  karena allah semata
More aboutSastra Makassar

Kumpulan puisi : Cinta Sebatas waktu

Diposting oleh chaldot on Rabu, 02 Mei 2012

hasrat ini tak dapat kubendung
cinta ini tak dapat kutanggalkan
rasa ini tak mampu kusimpan
gejolak jiwaku mengamuk

ahhhhh......
kenapa mesti saat ini
kenapa mesti dirimu
kenapa mesti cintaku
yang harus dipertaruhkan


ahhh......
kenapa mesti zaman ini
kenapa siti nurbaya mesti kembali
kenapa mesti ada pilihan orang tua

ahhhh......
aku mau memilikimu
aku mau waktu terulang kembali
aku mau, aku mau, aku mau....
semua ini tdak terjadi....
More aboutKumpulan puisi : Cinta Sebatas waktu

Aku Mencintaimu

Diposting oleh chaldot on Selasa, 01 Mei 2012

aku mencintaimu...
bukan karena kau mencintaiku
bukan karena kau orang kaya
bukan karena kau kalangan bangsawan


aku mencintaimu....
bukan karena kau ratu kampus
bukan karena kecerdasanmu
bukan karena kemolekan tubuhmu
bukan karena kecantikanmu

Tpi...
karena orang tuamu
karena orang tuaku
karena adat yang mengharuskan

More aboutAku Mencintaimu

Mahasiswa

Diposting oleh chaldot on Jumat, 27 April 2012

ssssttttttt.......
mereka bukan pejuang
mereka bukan pendekar
tpi mereka, bukan bahan tertawaan

Tubuh lunglai mereka
Ambruk dalam penindasan
Jiwa jiwa letih mereka
Hanyut dalam jeritan

kembalikan hak kami......!!!!
kembalikan jati diri kami........!!!



More aboutMahasiswa

Titip Rindu Buat "Diana"

Diposting oleh chaldot on Kamis, 26 April 2012

Rinduku Padamu
Bagaikan Rindu Kupu-kupu pada Bunga
Rinduku Padamu
Bagaikan Rindu Malam pada Rembulan
Rinduku Padamu
Bagaikan Rindu Hari pada Sang Mentari
Rinduku Padamu
Bagaikan Rindu Ross pada James

Ahhhh......
"diana".....
Kutitip Rindu ini
pada Angin yang membisik
sebab aku Rindu Rindumu.....


by : chaldot
More aboutTitip Rindu Buat "Diana"

Panngaderreng / Panngadakkang Bugis-Makassar

Diposting oleh chaldot on Rabu, 25 April 2012

Sulawesi Selatan sejak dahulu sampai saat sekarang terbangun dari  pola tertentu yang dalam diskusi ini disebut pola budaya atau Budaya Sulawesi Selatan. berbagai studi menunjukkan bahwa budaya Sulawesi Selatan dapat ditemukan dan terangkum dalam konsep Panngaderreng (Bugis) atau Panngadakkang (Makassar). kedua konsep tersebut berasal dari kata dasar Adeq (Bugis) dan Adaq (Makassar), yang berarti Adat. Panngadakkang dan Panngaderrang, dengan demikian, berarti sesuatu yang menjadi tempat berpijak perilaku dan kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar. Panngaderreng atau Panngadakkang (Selanjutnya disebut Panngaderreng saja) merupakan tumpuan tradisi yang sudah lam ada, yaitu sejak manusia Sulawesi Selatan mulai ada dalam sejarah. konsep orang Bugis-Makassar mengenai seseuatu yang tua atau lama disebut toa. orang tua disebut tau toa atau tomatoa. Budaya orang Sulawesi Selatan pada awal sejarahnya pun dapat ditemukan dalam Latoa (Sesuatu yang tua), Disebutkan di dalamnya bahwa :
  1. Adeq (Bugis), Adaq (Makassar). Adeq atau Adaq adalah unsur bagian dari Panngaderreng, yang secara khusus terdiri dari : Pertama, adeq akkalabinengeng, atau norma mengenai hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan berwujud kepada kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga dan sopan santun pergaulan antara kaumkerabat.kedua, adeq tana, atau norma-norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai hukum negara, serta etika dan pembinaan insan politik. pengawasan dan pembinaan adeq dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh beberapa pejabat adat seperti : pakkatenni adeq, puang adeq, pampawa adeq, dan parewa adeq.
  2. Bicara adalah unsur bagian dari panngaderreng, yang mengenal semua aktivitas dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan peradilan, kurang lebih sama dengan hukum acara, menentukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban seorang yang mengajukan kasusnya di muka pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.
  3. Rapang, berarti contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. sebagai unsur bagian panngaderreng, rapang menjaga kepastian dan kontiunitas suatu keputusan hukum tak tertulis dalam masa lampau sampai sekarang, dengan membuat analogi antara kasus dari masa lampau itu dengan kasus yang sedang digarap. rapang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang menganjurkan kelakuan ideal dan etika dalam lapangan-lapangan hidup tertentu, seperti lapangan kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan politik, dan pemerintahan negara. selain itu, rapang juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap keamanan seoorang warga masyarakat.
  4. wariq adalah unsur bagian panngaderreng, yang melakukan klasifikasi segala benda, peristiwa dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya. Misalnya, untuk memelihara tata-susunan dan tata-penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat; untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial; untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda dalam tata upacara kebesaran.
  5. Sara’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengandung pranata-pranata dan hukum islam dan yang melengkapkan ke empat unsurnya menjadi lima. Sistem religi masyarakat Sulawesi Selatan sebelum masuknya ajaran islam seperti yang tampak dalam sure’ lagaligo, sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan terhadap dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti patoto-e (maha menentukan nasib), dewata sewwae (dewa yang tunggal), turie’ a’rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan seperti ini masih tampak jelas misalnya beberapa kepercayaan tradisional yang masih bertahan sampai sekarang misalnya pada orang tolotang, di kabupaten sidenreng rappang dan pada orang ammatoa di kajang daerah bulukumba.

Sumber Pustaka : Sistem Perkawinan Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
More aboutPanngaderreng / Panngadakkang Bugis-Makassar

Tradisi Perkawinan Bugis-Makassar

Diposting oleh chaldot on Selasa, 24 April 2012


Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dianggap suatu peralihan dari masa remaja ke masa dewasa. Bagi orang Bugis-Makassar perkawinan adalah bukan hanya peralihan dalam arti biologis, tetapi lebih ditekankan pada arti sosiologis, yaitu adanya tanggung jawab baru bagi kedua orang orang yang mengikat tali perkawinan terhadap masyarakatnya. oleh karena itu, perkawinan bagi orang Bugis-Makassar dianggap sebagai hal yang suci, sehingga dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan penuh hikmat dan pesta yang meriah.

Bagi orang Bugis-Makassar, kawin artinya Siala (Sialle = Makassar) artinya saling mengambil satu sama lain. perkawinan tidak melibatkan laki-laki dan perempuan yang kawin saja, melainkan kerabat kedua belah pihak dengan tujuan memperbahurui dan memperkuat hubungan keduanya. Di desa, perkawinan biasanya berlangsung antara seorang kerabat. perkawinan merupakan cara terbaik untuk memasukkan seseorang yang sebelumnya bukan kerabat menjadi Tennia Tau Laeng (Bukan orang lain)

perkawinan yang ideal adalah perkawinan dengan sepupu. Namun demikian, perkawinan dengan sepupu sekali dianggap "Terlalu Panas", karena itu jarang terjadi, kecuali di kalangan bangsawan Bugis-Makassar yang "berdarah Putih". Bagi masyarakat di bawahnya lebih memilih perkawinan sepupu dua kali atau tiga kali. jadi perkawinan ideal adalah perkawinan dalam generasi yang sama.

orang-orang bangsawan Bugis-Makassar amat memperhitungkan derajat calon pasangan. Aturan umumnya adalah, sementara seorang laki-laki boleh mengawini perempuan yang lebih rendah derajatnya, namun tidak demikian halnya dengan perempuan. semakin tinggi derajat seseorang semakin ketat aturan tersebut. biasanya seorang bangsawan Bugis-Makassar harus memperistrikan kalangan bangsawan juga untuk kawin pertamanya, namun untuk perkawinan keduanya boleh dari kalangan yang lebih rendah, hal ini dimaksudkan untuk kepentingan regenerasi dalam suksesi kepemimpinan kerajaan.

ada dua jenis pemberian dari pihak laki-laki ke pihak perempuan dalam "Tradisi Perkawinan Bugis-Makassar" yaitu "Sompa" yang secara simbolis berupa sejumlah uang yang dilambangkan dengan rella (real) yang sesuai dengan derajat perempuan, dan dui' menre' (uang naik) atau uang untuk perongkosan pesta perkawinan, yang biasanya diikuti dengan lise' kawing (isi perkawinan), dan mahar biasanya sejumlah uang yang sekarang sering diserahkan dalam bentuk Mushaf Al-Qur'an dan seperangkat alat Shalat.

dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desa sendiri, Bugis-Makassar menetapkan sebagai perkawinan yang ideal adalah :

  1. Perkawinan yang disebut assialang marola (atau passialleang baji'na dalam bahasa Makassar)
  2. Perkawinan yang disebut assialanna memang (atau passialleanna dalam Bahasa Makassar) ialah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu
  3. Perkawinan anatara ripaddeppe' mabellae (atau nipakambani bellaya), ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga dari kedua belah pihak.

perkawinan yang dilangsungkan secara adat melalui deretan kegiatan sebagai berikut :

  1. Mappucce-puce (Akkusissing dalam bahasa Makassar), ialah kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengetahui apakah peminangan dapat dilakukan.
  2. Massuro (Assuro dalam bahasa Makassar), yang merupakan kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan yang didalamnya termasuk Sunreng atau mas kawin, balanja atau belanja perkawinan.
  3. Madduppa (Ammuntuli dalam Bahasa Makassar), ialah pemberitahuan kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang
hari pernikahan dimulai dengan mappaenre' balanja (appanai leko' dalam bahasa Makassar), ialah proses mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita dan maskawin. sampai dirumah mempelai wanita maka dilangsungkan upacara pernikahan, yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan atau Aggaukeng (pa'gaukang dalam Bahasa Makassar).

pada pesta itu para tamu yang di luar di undang untuk memberikan kado atau uang sebagai sumbangan (soloreng), pada zaman dahulu soloreng itu berbentuk sawah atau ternak dan asalnya dari pihak paman (keluarga dekat dari kedua mempelai). Apabila dalam upacara adat itu salah seorang paman memberi pengumuman, bahwa untuk kemanakannya yang kawin itu ia memberi sepetak sawah, maka pihak kerabat pengantin laki-laki akan malu kalau tidak ada seorang diantara mereka mengumumkan pemberian kepada kemanakannya yang melebihi soloreng dari pihak kaum kerabat pengantin wanita.

beberapa hari setelah pernikahan, pengantin baru mengunjungi keluarga si suami dan tinggal beberapa lam di sana. dalam kunjungan itu, si isteri baru harus membawa pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga si suami. kemudian ada kunjungan ke keluarga si isteri juga untuk pemberian-pemberian kepada mereka semua. pengantin baru juga harus tinggal beberapa lama di rumah keluarga itu. barulah mereka dapat menempati rumah sendiri sebagai nalaoanni alena (naentenganmi kalenna dalam Bahasa Makassar). hal ini berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah tangga sendiri.
More aboutTradisi Perkawinan Bugis-Makassar

Badik / kawali Bugis Makassar

Diposting oleh chaldot on Jumat, 20 April 2012

"Badik / Kawali" dalam kerajaan Bugis Makassar sangat indentik, apalagi bila dikaitkan dengan "laki-laki Bugis Makassar", sejak kelahiran seorang Anak laki-laki dikalangan Bugis Makassar telah di bekali dengan "Badik/Kawali" sebagai simbol dari dirinya.... Bahkan orang tua mereka telah memesan khusus kepada "Panre Bessi" untuk membuat "Badik / Kawali" untuk anaknya sebagai manifestasi keinginan dan harapan orang tua kepada anak laki-lakinya, seperti halnya orang tua yang menginginkan anaknya sejahtera dan tidak kurang apapun maka orang tua akan memesan "Badik / Kawali" yang berpamor Kurisi atau Ma'daung Ase, begitu pula jika orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang pemimpin yang disegani, pemberani dan berkharisma maka "Badik / Kawali" yang dipesan yang berpamor Makkure'cilampa.

beberapa jenis "Badik / kawali" yang tersebar di Sulawesi selatan dan bahkan menjadi incaran

1. Badik Raja (gecong raja)



dalam pembuatan "badik/kawali" ini,, orang2 disekitar kajuara sana masih percaya jika "badik/kawali raja" dibuat oleh makhluk halus, ketika malam, terdengar suara palu bertalu-talu dalam lanraseng gaib sampai paginya masyarakat sana menemukan jadilah sebuah badik raja,, badik ini bilahnya aga besar ukurannya 20-25 cm, Ciri-ciri badik raja hampir mirip dengan badik lampobattang, bentuk bilahnya agak membungkuk, dari hulu agak kecil kemudian melebar kemudian meruncing. Pada umumnya mempunyai pamor timpalaja atau mallasoancale di dekat hulunya. Bahan besi dan bajanya berkualitas tinggi serta mengandung meteorit yang menonjol dipermukaan, kalau kecil disebut uleng-puleng kalau besar disebut batu-lappa dan kalau menyebar di seluruh permukaan seperti pasir disebut bunga pejje atau busa-uwae. Badik raja di masa lalu hanya digunakan oleh arung atau dikalangan bangsawan-bangsawan dikerajaan Bone.

2. Badik Lagecong



"Badik/kawali lagecong", Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang mencarinya karna sangat begitu terkenal dengan mosonya (racunnya), banyak orang percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik gecong tersebut,,
ada dua versi , yang pertama ,Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco”, yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati,,
sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam,, panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.

3. Badik Luwu



"Badik/kawali luwu", badik luwu yang berasal dari kabupaten luwu, bentuknya agak sedikit membungkuk, mabbukku tedong (bungkuk kerbau), bilahnya lurus dan meruncing kedepan,, badik bugis kadang diberikan pamor yang sangat indah, hingga kadang menjadi buruan para kolektor ..di bajanya terdapat rakkapeng atau sepuhan pada baja yang konon disepuh dengan bibir dan “maaf” alat kelamin gadis perawan sehingga konon tidak ada orang yang kebal dengan badik luwu ini,

4. Badik Lompobattang



"Badik/kawali lompo battang atau sari", badik ini berasal dari Makassar, bentuknya seperti jantung pisang, ada jg yang bilang seperti orang hamil, makanya orang menyebutnya lompo battang (perut besar), konon katanya jika ada orang terkena badik ini, maka dia tidak akan bertahan dalam waktu 24 jam
More aboutBadik / kawali Bugis Makassar

Kerajaan Kupu kupu terancam Punah

Diposting oleh chaldot on Selasa, 17 April 2012

Dari segi keunikan dan keindahan, tidak disangsikan lagi kalau wisata alam yang satu ini "Bantimurung" bisa dikatakan sebagai objek wisata paling indah di Sulawesi-Selatan, Bahkan bagi orang MAROS sendiri mengatakan kalau "Wisata Alam BANTIMURUNG" adalah yang terbaik didunia.....!!!
"Bantimurung" dibalik keindahan dan keunikannya menyimpan sesuatu yang fenomenal bagi masyarakat awam tentunya, dari tahun ketahun pengunjung Wisata Alam "Bantimurung" semakin meningkat namun tidak dengan spesies kupu-kupunya semakin tahun semakin dalam kepunahan, memang benar kalau dikatakan bahwa Wisata Alam "Bantimurung" sebagai "Kingdom Of Butterfly" itu dulu....!!!!

Wisata Alam "Bantimurung" yang dikatakan sebagai "Kingdom of Butterfly" kini lebih layak dikatakan sebagai "The Land Of Death Butterfly" dikarenakan lebih banyaknya Kupu-kupu yang di awetkan ketimbang dengan kupu-kupu yang hidup bebas di Wisata Alam "Bantimurung". Kita akan lebih sering mendengar teriakan para penjajah kupu-kupu yang telah terbingkai ketimbang dengan suara-suara yang meneriakkan "Jaga dan Lestarikan Alam ini".
More aboutKerajaan Kupu kupu terancam Punah

Atheis (karya Sastra)

Diposting oleh chaldot on Kamis, 29 Maret 2012

Anak kecil itu masih duduk sendiri di atas gundukan sampah yangmenjulang. Di tangannya tergenggam kertas-kertas bekas,sementara di sebelah kanannya tumpuan kertas-kertas, karduspilihan yang dikumpulkannya. Matanya yang kecil dan manis itumelihat ke atas, memandanga fajar yang pelan-pelanmemancarkan sinar.

Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabangkebudayaan, yakni kesenian. Seperti hasil kesenian umumnya, karyasastra mengandung unsur keindahan yang menimbukan rasa senang,nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaanpenikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya inginmengekspresikan pengalaman jiwanya saja, melainkan secara implisit iabermaksud juga mendorong, memengaruhi pembaca agar ikutmemahami, menghayati, dan menyadari masalah serta ide yang diuangkapkan dalam karyannya.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasilimajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial disekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran sastra merupakan bagian darikehidupan masyarakat pengarang sebagai objek individual mencobamenghasilkan pandangan dunianya (vision du monde)kepada subjekkolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadaprealitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra yangdemikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumensosiobudaya (Pradopo, 2003: 59)


Dari semua karyanya, hanya ada tiga karya yang dianggap sebagaikarya sastra, yaitu roman
Atheis, Debu Cinta Berterbangan, serta yangterakhir yang diterbitkan oleh Mizan pada Januari 2005 adalah sebuahkisah panjang berjudul Manifesto Khalifatullah. Karyanya ini disebutkispan karena terlalu panjang untuk disebut cerpen dan terlalu pendekuntuk dikategorikan dalam sebuah novel.Selain tiga buah roman, dalam catatan sastrawan Ajip Rosidi, Achdiat juga menghasilkan dua kumpulan cerpen dan satu naskah drama.Tetapi dari semuanya, Atheis menorehkan catatan paling fenomentalkarena sudah dicetak ulang sebanyak 26 kali oleh penerbitnya.
More aboutAtheis (karya Sastra)

Makna dalam Badik (senjata khas Bugis Makassar)

Diposting oleh chaldot on Rabu, 28 Maret 2012

 Dimata orang Bugis, Badik atau dalam bahasa bugis disebut Kawali bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri, namun setiap jenis badik dipercaya memiliki makna kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.


Sejak ratusan tahun silam, badik dipandang sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Kawali orang Bugis pada umumnya memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, disamping itu ada juga kawali dari bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.

Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif  kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang dipercaya memiliki "Makna" dapat memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya memiliki "Makna" akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.

Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya memiliki "Makna" dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.

Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat (ure‘) yang membujur dari pangkal ke ujung. Memiliki "Makna" badik tersebut senantiasa akan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan Kawali Lasabbara memiliki "Makna" untuk mendapatkan kesabaran.

Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai memiliki "Makna" sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, sedangkan badik yang memilki "makna" kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.

Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.

Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.

Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Bugis mengenai badik “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

Badik/kawali bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi. Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini. Kebiasaan tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada Badik/kawali tersebut.


Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
More aboutMakna dalam Badik (senjata khas Bugis Makassar)

Badik Senjata Khas Bugis Makassar

Diposting oleh chaldot

Masyarakat Bugis

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.

Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.

Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.

Badik Makassar

Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).

Badik Bugis 

Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.

Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.

Kul Buntet / Pusaran

Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.

Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.

Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.

Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.

Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.

Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.

Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).

Badik Caringin Tilu

Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
More aboutBadik Senjata Khas Bugis Makassar

Pernikahan Adat Makassar

Diposting oleh chaldot

Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah "PERNIKAHAN", karena "pernikahan" merupakan Sunnah Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW. "Pernikahan" sesungguhnya merupakan suatu peristiwa yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, yaitu tanggung jawab Orang Tua, keluarga, kerabat, bahkan kesaksian dari anggota masyarakat di mana mereka berada, maka selayaknyalah jika upacara tersebut diadakan secara khusus dan meriah sesuai dengan tingkat kemampuan atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara "Pernikahan" banyak dipengaruhi oleh acara-acara sakral dengan tujuan agar Pernikahan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai didoakan ke hadirat Allah SWT, sukses dalam segala usaha dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang langgeng menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.

Tata cara upacara adat "Bugis-Makassar" dalam acara "Pernikahan" sejatinya memiliki beberapa proses atau tahapan upacara "adat", antara lain:

1. A’jangang-jangang (Ma’manu’-manu’).
2. A’suro (Massuro) atau melamar.
3. A’pa’nassar (Patenre ada’) atau menentukan hari.
4. A’panai Leko’ Lompo (erang-erang) atau sirih pinang.
5. A’barumbung (Mappesau) atau mandi uap, dilakukan selama 3 (tiga) hari.
6. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) atau siraman dan A’bubbu’ ( mencukur rambut halus dari calon mempelai.
7. Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.
8. Assimorong atau akad nikah.
9. Allekka’ bunting (Marolla) atau mundu mantu.
10. Appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.


Upacara "adat" tersebut di atas masih memiliki uraian-uraian yang lebih detail dari masing-masing tahapan atau proses. Pada kesempatan ini akan diuraikan tentang tata cara upacara adat:
1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) dan A’bubbu’.
2. A’korontigi (Mappacci).
3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong (Akad Nikah)

1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing), A’bubbu’ dan Appakanre Bunting


Kegiatan dalam tata cara atau prosesi "upacara adat" ini terdiri dari:

Appassili bunting.
Persiapan sebelum acara ini adalah calon mempelai dibuatkan tempat khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota keluarga.

Acara dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 waktu setempat. Pelaksanaan acara pada jam tersebut memiliki niat atau maksud. Calon mempelai memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa.

Appassili atau Cemme Mappepaccing mengandung arti membersihkan dengan maksud agar calon mempelai senantiasa diberi perlindungan dan dijauhkan dari mara bahaya oleh Allah SWT.

Alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:

* Pammaja besar/Gentong.
* Gayung/tatakan pammaja.
* Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.
* Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.
* Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.
* Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.
* Kelapa tunas.
* Gula merah.
* Pa’dupang.
* Leko’ passili.

Prosesi Acara Appassili:

Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

A’bubbu’ (Macceko).
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis.

Appakanre bunting.
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas
tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya,
Onde-onde/Umba-umba, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan
dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.

2. Akkorontigi (Mappacci).

Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas daerah bugis makassar, yang terdiri dari:

a. Pelaminan (Lamming)
b. Lila-lila
c. Meja Oshin lengkap dengan bosara.
d. Perlengkapan Korontigi/Mappacci.


Acara Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.

Perlengkapannya:

* Pelaminan (Lamming).
* Bantal.
* Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal.
* Bombong Unti (Pucuk daun pisang).
* Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar.
* Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus.
* Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar.
* Unti Te’ne (Pisang Raja).
* Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).
* Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).



Prosesi acara Akkorontigi/Mappacci:

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi/Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.

3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong
(Akad Nikah)

Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.

Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:

Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW).

1. Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola menuntun CPP memasuki rumah CPW.
2. Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat memasuki gerbang kediaman CPW.
3. Penerima erang-erang atau seserahan.
4. Penerima tamu.


Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP).

- Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:

* Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
* Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

- Perangkat adat, yang terdiri dari:

* Seorang laki-laki pembawa tombak.
* Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
* Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
* Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
* Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.


- Calon mempelai Pria
- Rombongan orang tua
- Rombangan saudara kandung
- Rombongan sanak keluarga
- Rombongan undangan.

Prosesi acara Assimorong:

Setelah CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman CPP, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang kediaman CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta rombongan memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.

Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

semoga bermanfaat bagi kita semua
More aboutPernikahan Adat Makassar

Arung Palakka (2)

Diposting oleh chaldot on Selasa, 27 Maret 2012

Arung Palakka adalah seorang jagoan tanpa tanding yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman Makassar.

Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.


Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.

Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.

Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.

Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumi hanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.

Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.

Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.

Sedang Arung Palakka disingkirkan secara halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone, kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.
More aboutArung Palakka (2)

Sejarah Arung Palakka

Diposting oleh chaldot

Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam. Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :

1.Da Unggu (putri)
2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri Girang (putra)
4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba (putri), dan
6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :
1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan
2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16

Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng. Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :

  1. We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng
  2. We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);
  3.  Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
  4.  Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone. Datu We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangeran yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.

Situasi Tahun 1646

Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut:
Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-angsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puang. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya. Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tidak ada tandingannya di masa itu.

Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.

Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Daeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mar alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.

Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.

Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.

Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.

Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.

Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.
Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.

Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.

Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.

Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenalperikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).

Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka. Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu. Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.

Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.

Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.


Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)

Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.
Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.

Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung.
Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”. Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.

Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah.

Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu. Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.

Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut. Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teramat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri.
More aboutSejarah Arung Palakka