Atheis (karya Sastra)

Diposting oleh chaldot on Kamis, 29 Maret 2012

Anak kecil itu masih duduk sendiri di atas gundukan sampah yangmenjulang. Di tangannya tergenggam kertas-kertas bekas,sementara di sebelah kanannya tumpuan kertas-kertas, karduspilihan yang dikumpulkannya. Matanya yang kecil dan manis itumelihat ke atas, memandanga fajar yang pelan-pelanmemancarkan sinar.

Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabangkebudayaan, yakni kesenian. Seperti hasil kesenian umumnya, karyasastra mengandung unsur keindahan yang menimbukan rasa senang,nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaanpenikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya inginmengekspresikan pengalaman jiwanya saja, melainkan secara implisit iabermaksud juga mendorong, memengaruhi pembaca agar ikutmemahami, menghayati, dan menyadari masalah serta ide yang diuangkapkan dalam karyannya.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasilimajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial disekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran sastra merupakan bagian darikehidupan masyarakat pengarang sebagai objek individual mencobamenghasilkan pandangan dunianya (vision du monde)kepada subjekkolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadaprealitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra yangdemikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumensosiobudaya (Pradopo, 2003: 59)


Dari semua karyanya, hanya ada tiga karya yang dianggap sebagaikarya sastra, yaitu roman
Atheis, Debu Cinta Berterbangan, serta yangterakhir yang diterbitkan oleh Mizan pada Januari 2005 adalah sebuahkisah panjang berjudul Manifesto Khalifatullah. Karyanya ini disebutkispan karena terlalu panjang untuk disebut cerpen dan terlalu pendekuntuk dikategorikan dalam sebuah novel.Selain tiga buah roman, dalam catatan sastrawan Ajip Rosidi, Achdiat juga menghasilkan dua kumpulan cerpen dan satu naskah drama.Tetapi dari semuanya, Atheis menorehkan catatan paling fenomentalkarena sudah dicetak ulang sebanyak 26 kali oleh penerbitnya.
More aboutAtheis (karya Sastra)

Makna dalam Badik (senjata khas Bugis Makassar)

Diposting oleh chaldot on Rabu, 28 Maret 2012

 Dimata orang Bugis, Badik atau dalam bahasa bugis disebut Kawali bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri, namun setiap jenis badik dipercaya memiliki makna kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.


Sejak ratusan tahun silam, badik dipandang sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Kawali orang Bugis pada umumnya memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, disamping itu ada juga kawali dari bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.

Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif  kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang dipercaya memiliki "Makna" dapat memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya memiliki "Makna" akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.

Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya memiliki "Makna" dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.

Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat (ure‘) yang membujur dari pangkal ke ujung. Memiliki "Makna" badik tersebut senantiasa akan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan Kawali Lasabbara memiliki "Makna" untuk mendapatkan kesabaran.

Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai memiliki "Makna" sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, sedangkan badik yang memilki "makna" kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.

Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.

Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.

Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Bugis mengenai badik “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

Badik/kawali bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi. Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini. Kebiasaan tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada Badik/kawali tersebut.


Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
More aboutMakna dalam Badik (senjata khas Bugis Makassar)

Badik Senjata Khas Bugis Makassar

Diposting oleh chaldot

Masyarakat Bugis

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.

Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.

Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.

Badik Makassar

Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).

Badik Bugis 

Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.

Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.

Kul Buntet / Pusaran

Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.

Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.

Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.

Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.

Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.

Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.

Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).

Badik Caringin Tilu

Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
More aboutBadik Senjata Khas Bugis Makassar

Pernikahan Adat Makassar

Diposting oleh chaldot

Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah "PERNIKAHAN", karena "pernikahan" merupakan Sunnah Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW. "Pernikahan" sesungguhnya merupakan suatu peristiwa yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, yaitu tanggung jawab Orang Tua, keluarga, kerabat, bahkan kesaksian dari anggota masyarakat di mana mereka berada, maka selayaknyalah jika upacara tersebut diadakan secara khusus dan meriah sesuai dengan tingkat kemampuan atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara "Pernikahan" banyak dipengaruhi oleh acara-acara sakral dengan tujuan agar Pernikahan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai didoakan ke hadirat Allah SWT, sukses dalam segala usaha dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang langgeng menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.

Tata cara upacara adat "Bugis-Makassar" dalam acara "Pernikahan" sejatinya memiliki beberapa proses atau tahapan upacara "adat", antara lain:

1. A’jangang-jangang (Ma’manu’-manu’).
2. A’suro (Massuro) atau melamar.
3. A’pa’nassar (Patenre ada’) atau menentukan hari.
4. A’panai Leko’ Lompo (erang-erang) atau sirih pinang.
5. A’barumbung (Mappesau) atau mandi uap, dilakukan selama 3 (tiga) hari.
6. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) atau siraman dan A’bubbu’ ( mencukur rambut halus dari calon mempelai.
7. Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.
8. Assimorong atau akad nikah.
9. Allekka’ bunting (Marolla) atau mundu mantu.
10. Appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.


Upacara "adat" tersebut di atas masih memiliki uraian-uraian yang lebih detail dari masing-masing tahapan atau proses. Pada kesempatan ini akan diuraikan tentang tata cara upacara adat:
1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) dan A’bubbu’.
2. A’korontigi (Mappacci).
3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong (Akad Nikah)

1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing), A’bubbu’ dan Appakanre Bunting


Kegiatan dalam tata cara atau prosesi "upacara adat" ini terdiri dari:

Appassili bunting.
Persiapan sebelum acara ini adalah calon mempelai dibuatkan tempat khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota keluarga.

Acara dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 waktu setempat. Pelaksanaan acara pada jam tersebut memiliki niat atau maksud. Calon mempelai memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa.

Appassili atau Cemme Mappepaccing mengandung arti membersihkan dengan maksud agar calon mempelai senantiasa diberi perlindungan dan dijauhkan dari mara bahaya oleh Allah SWT.

Alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:

* Pammaja besar/Gentong.
* Gayung/tatakan pammaja.
* Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.
* Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.
* Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.
* Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.
* Kelapa tunas.
* Gula merah.
* Pa’dupang.
* Leko’ passili.

Prosesi Acara Appassili:

Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

A’bubbu’ (Macceko).
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis.

Appakanre bunting.
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas
tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya,
Onde-onde/Umba-umba, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan
dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.

2. Akkorontigi (Mappacci).

Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas daerah bugis makassar, yang terdiri dari:

a. Pelaminan (Lamming)
b. Lila-lila
c. Meja Oshin lengkap dengan bosara.
d. Perlengkapan Korontigi/Mappacci.


Acara Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.

Perlengkapannya:

* Pelaminan (Lamming).
* Bantal.
* Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal.
* Bombong Unti (Pucuk daun pisang).
* Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar.
* Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus.
* Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar.
* Unti Te’ne (Pisang Raja).
* Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).
* Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).



Prosesi acara Akkorontigi/Mappacci:

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi/Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.

3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong
(Akad Nikah)

Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.

Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:

Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW).

1. Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola menuntun CPP memasuki rumah CPW.
2. Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat memasuki gerbang kediaman CPW.
3. Penerima erang-erang atau seserahan.
4. Penerima tamu.


Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP).

- Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:

* Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
* Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

- Perangkat adat, yang terdiri dari:

* Seorang laki-laki pembawa tombak.
* Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
* Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
* Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
* Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.


- Calon mempelai Pria
- Rombongan orang tua
- Rombangan saudara kandung
- Rombongan sanak keluarga
- Rombongan undangan.

Prosesi acara Assimorong:

Setelah CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman CPP, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang kediaman CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta rombongan memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.

Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

semoga bermanfaat bagi kita semua
More aboutPernikahan Adat Makassar

Arung Palakka (2)

Diposting oleh chaldot on Selasa, 27 Maret 2012

Arung Palakka adalah seorang jagoan tanpa tanding yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman Makassar.

Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.


Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.

Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.

Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.

Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumi hanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.

Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.

Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.

Sedang Arung Palakka disingkirkan secara halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone, kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.
More aboutArung Palakka (2)

Sejarah Arung Palakka

Diposting oleh chaldot

Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam. Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :

1.Da Unggu (putri)
2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)
3.Latenri Girang (putra)
4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)
5.Da Emba (putri), dan
6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :
1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan
2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16

Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng. Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalenneE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :

  1. We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng
  2. We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);
  3.  Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;
  4.  Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone. Datu We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangeran yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.

Situasi Tahun 1646

Apabila dikembalikan ke situasi 1646, maka sekilas dapat digambarkan sebagai berikut:
Tawanan-tawanan perang orang Bone dan Soppeng kebanyakan diangkut ke Gowa, di mana mereka dibagi-bagi ke antara bangsawan-angsawan Gowa. Arung Tana tengnga dan keluarganya jatuh ke tangan Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Ia adalah seorang yang terkenal budiman dan berpengetahuan luas. Para tawanannya diperlakukan dengan remah-remah. La Tenritatta dijadikannya Pembawa Puang. Karena tugas itu, maka Pangeran selalu ada di dekat beliau, sehingga tidak sedikit ia mendapat didikan dan ilmu pengetahuan dari ucapan-ucapan serta sikap sehari-hari dari pengendali kemaharajaan Gowa yang termasyhur sangat pandai dan bijaksana itu. Ia juga disegani oleh setiap kawan dan lawannya. Di kalangan para pemuda bangsawan Gowa, La Tenritatta terkenal dengan nama Daeng Serang. Dengan mereka itu ia berlatih main tombak, kelewang, pencak silat, raga,dan berbagai permainan olah raga lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan tidak jarang Daeng Serang menjadi juara. Konon dalam permainan raga tidak ada tandingannya di masa itu.

Menurut berita, roman muka dan fisiknya sangatlah menarik dan mengesankan ; dahinya tinggi, hidungnya mancung, matanya tajam menawan, dagunya tajam alamat berkemauan keras. Tubuhnya semampai, berisi, dan kekar.

Rupanya Karaeng Pattingalloang sayang dan bangga akan pramubaktinya yang bangsawan, gagah dan cerdas itu. Daeng Serang dibiarkannya bergaul dengan pemuda-pemuda lainnya bagaikan kawan sederajat dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Bahkan diperkenalkannya kepada Sultan. Datu Mar alias Daeng Serang telah menjadi buah tutur di antara bangsawan-bangsawan muda dan rakyat ibukota Kerajaan Gowa.

Sayang bagi keluarga Arung Tana Tengnga, Karaeng Pattingalloang lekas wafat yaitu pada tanggal 15 September 1654. Merekapun berganti tuan, yaitu berpindah ke tangan Karaeng Karungrung, yang menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dia ini terkenal sebagai seorang yang sangat keras tabitnya, tidak seperti ayahnya yang halus budi bahasanya dan baik hati sesamanya manusia.

Pada waktu itu Datu Mario telah menjelang 20 tahun usianya. Ia telah dewasa. Akibat perlakuan tuan barunya yang jauh berbeda dengan ayahnya yang telah meninggal, disadarinya dengan pahit akan kedudukannya sekeluarga sebagai tawanan perang yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan kedudukan budak. Mereka tidak bebas kemana-mana, harus melakukan segala kehendak tuannya, makan minumnya tergantung daripadanya, nasibnya terserah sepenuhnya kepada balas kasihan atau kesewenang-wenangan tuannya itu.

Mengenai tawanan-tawanan lain, diantaranya terdapat beberapa orang dari Soppeng seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade, dan Arung Appanang. Nasib beliau itu tidaklah lebih baik dari Datu Mario. Sejak semula mereka menginjakkan kaki di bumi Gowa, mereka mengalami perlakuan-perlakuan yang pahit. Tidaklah heran kalau mereka itu setiap saat memanjatkan doa, agar tanah air mereka segera merdeka kembali dan mereka dapat pulang kembali ke Bone bersatu dengan sanak keluarganya.

Dalam pada itu rakyat Bone sendiri merintih, tertindih di bawah berbagi macam beban yang ditimpakan oleh Kerajaan Gowa di atas kepala mereka. Jennang To Bala tidaklah sanggup membela mereka itu. Oleh karena itu di sinipun rakyat sedang mengimpikan turunnya seorang malaikat kemerdekaan yang akan segera melepaskan mereka dari penderitaan perbudakan tahun 1660.

Pada pertengahan tahun itu Jennang To Bala mendapat perintah dari Karaeng Karungrung, supaya secepat mungkin mengumpulkan sepuluh ribu orang laki-laki untuk dibawa segera ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan, di sepanjang pantai di sekitar ibukota Somba Opu. To Bala sendiri diharuskan mengantar mereka itu ke Gowa.
Pada akhir bulan Juli tibalah Arung Tanete To Bala dengan sepuluh ribu orang Bone di Gowa. Orang sebanyak itu diambilnya dari berbagai golongan, lapisan, dan umur. Ada petani, nelayan, pandai kayu, ada orang kebanyakan, budak, bahkan bangsawan, dan ada yang nampaknya masih kanak-kanak akan tetapi tidak kurang pula yang sudah putih seluruh rambutnya serta sudah ompong. To Bala tidaklah sempat lagi memilih hanya orang-orang yang kuat saja, atau mereka yang sedang menganggur saja, atau pun hanya orang kebanyakan dan hamba sahaya.

Mereka membawa bekal, pacul atau linggis sendiri. Banyak di antara mereka itu yang sakit ketika tiba di Gowa, terutama yang masih kanak-kanak atau yang sudah terlalu tua. Mereka tidak tahan melakukan perjalanan ratusan kilometer jauhnya, naik gunung, turun gunung, masuk hutan, keluar hutan. Banyak yang berangkat dengan bekal yang tidak cukup karena tidak ada waktu untuk mempersiapkannya. Mereka diambil paksa dari tempat pekerjaannya dan dari anak istri atau orang tuanya.

Datu Mario dan tawanan-tawanan perang Bone lainnya yang kesemuanya orang-orang bangsawan mengetahui akan hal itu. Banyak di antara mereka yang datang untuk menengok orang-orang senegerinya itu ketika mereka baru tiba. Malahan Datu Mario sering mengawal Karaeng Karungrung, apabial mereka pergi memeriksa kemajuan pekerjaan menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu.

Iba hati pangerang itu melihat penderitaan orang-orang senegerinya. Mereka bekerja dari pagi sampai petang, hanya berhenti sedikit untuk makan tengah hari dari bekal mereka yang terdiri dari nasi jagung dan serbuk ikan kering yang lebih banyak garam dari pada ikannya. Sungguh sangat menyedihkan mereka itu. Apalagi waktu itu musim kemarau, panas terik bukan kepalang di tepi pantai. Celakalah barang siapa yang dianggap malas. Mereka didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tidak mengenalperikemanusiaan. Orang-orang yang dikhawatirkan akan membangkang, kakinya dibelenggu (risakkala).

Karena pekerjaan yang telampau berat itu, sedang makanan amat kurang, lagi pula obat-obatan tidak ada, banyaklah di antara pekerja-pekerja itu yang jatuh sakit. Kebanyakan yang sakit tidak sembuh lagi. Mereka mati jauh dari anak istri dan ibu bapak mereka. Tidaklah mengherankan, kalau di antara para pekerja yang malang itu ada yang berusaha melarikan diri. Maka celakalah apabila ia tertangkap kembali. Ia didera setengah mati, lalu disuruh bekerja dengan kaki terbelenggu (risakkala) untuk waktu yang lama. Akan tetapi tidak tahan dengan penderitaan, maka banyaklah pekerja yang melarikan diri. Mangkubumi Karaeng Karungrung amat murka akan hal itu. Beliau berkehendak, supaya parit-parit pertahanan di sekitar Somba Opu, Jumpandang dan Panakkukang serta kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai selesai November. Untuk mengganti pelarian-pelarian yang tidak tertangkap kembali, maka diperintahkannya semua tahanan perang pria yang ada di ibukota ikut serta pada pekerjaan itu. Datu Mario dan bangsawan-bangsawan lain, baik yang dari Bone maupun yang dari Soppeng turut menggali dan mengangkat tanah pada setiap harinya. Ayah Datu Mario, karena sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan dibebaskan dari pekerjaan fisik yang amat berat itu. Pada suatu hari diawal bulan September 1660 itu, Datu Mario pulang dari menggali parit, didapati ayahnya meninggal. Beliau dikatakan telah dibunuh pada pagi hari itu dengan sangat kejam, karena ia mengamuk di hadapan Sri Sultan, disebabkan karena bermata gelap, melihat beberapa orang Bone yang disiksa sampai mati. Mereka itu adalah pelarian dari tempat penggalian parit-parit, ditangkap kembali oleh orang Gowa.

Arung Tana Tengnga Tua, Nenek Datu Mario, beberapa tahun sebelumnya telah pula meninggal dengan cara yang serupa. Menurut berita, beliaupun mengamuk di depan para pembesar Kerajaan Gowa. Beliau ditangkap lalu dibunuh dengan cara yang amat kejam pula. Datu Mario bersumpah akan menuntut balas terhadap kematian ayah dan neneknya serta sekian banyak orang Bone lainnya. Maka direncanakannya suatu pemberontakan secara besar-besaran untuk melepaskan Bone dari penjajahan dan perbudakan Gowa.

Pada suatu hari dalam pertengahan bulan September itu sementara Sultan Hasanuddin bersama dengan segala pembesar kerajaannya berpesta besar di Tallo, Datu Mario menggerakkan semua pekerja parit orang Bone yang hampir sepuluh ribu orang jumlahnya itu bersama dengan semua tawanan perang dari Bone dan Soppeng melarikan diri dari Gowa. Pelarian itu berhasil dengan gemilang di bawah pimpinan Datu Mario. Pada hari yang keempat petang mereka tiba di Lamuru, Datu Mario segera mengirimkan kurir kilat kepada Jennang To Bala dan Datu Soppeng untuk melaporkan peristiwa besar itu dan mengajaknya bertemu di Attappang dekat Mampu.


Beberapa hari kemudian bertemulah Datu Soppeng La Tenri Bali, Arung Tanete To Bala. Dan Datu Mario Latenri Tatta di Attappang. Pada pihak Datu Soppeng ikut hadir ayahnya Lamaddussila Arung mampu dan Arung Bila. Pada pihak To Bala hadir Arung Tibojong, Arung Ujung, dan sejumlah besar bangsawan Bone. Bersama Datu Mario hadir pula Daeng Mabela, Arung Belo dan Arung Appanang. Atas desakan Datu Mario dan kawan-kawannya, Datu Soppeng segera menyetujui tawaran To Bala untuk mempersatukan Bone dan Soppeng melawan Gowa. Perundingan berlangsung di suatu tempat yang netral yaitu di atas rakit sungai Attapang. Oleh sebab itu persetujuan Bone-Soppeng itu (1660) dinamai “ Pincara LopiE ri Attappang (rakit perahu di Attappang)

Setelah itu pulanglah mereka masing-masing ke negerinya. Datu Mario kembali ke Lamuru menemui laskar-laskarnya, bekas penggali-penggali parit di Gowa yang berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Semuanya ingin memikul tombak di bawah Datu Mario untuk menyambut orang Gowa. Akan tetapi oleh Datu Mario diperintahkan yang sudah ubanan sama sekali dan yang belum dewasa harus tinggal di kampung untuk membela wanita-wanita, orang tua-tua, dan anak-anak. Para pengikut lainnya paling lambat setelah sepekan (lima hari) sudah berkumpul kembali di Mario. Menurut perhitungan Datu Mario, paling cepat sepekan lagi barulah laskar Gowa dapat berada di Lamuru. Ibu dan istrinya I Mangkawani Daeng Talele telah dibawanya ke Desa Lamatta, tempat kediaman mereka 14 tahun yang lalu sebelum diasingkan ke Gowa.
Alangkah bahagia perasaan ibunya berada kembali di negeri leluhurnya, di tengah-tengah rakyat yang mencintainya. Sayang sekali, Datu yang telah tua itu tidak lama menikmati kebahagiaan itu di dunia. Oleh Yang Maha Esa, beliau hanya diizinkan menghirup udara Lamatta sepekan lamanya. Penderitaan selama dalam pengasingan, terlebih-lebih dalam bulan yang terakhir setelah meninggal suaminya, ditambah keletihan dalam pelarian dari Bontoala ke Lamuru selama empat hari empat malam sempat juga ia menikmati berita bahagia, bahwa Aruppitu, para bangsawan dan rakyat Bone telah mengakui putranya Datu Mario sebagai Arung Palakka. Di mana ia sebagai ahli waris neneknya yakni Sultan Adam La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.
Datu Mario yang kini mulai terkenal sebagai Arung Palakka, tidaklah dapat duduk-duduk bersantai atas kematian ibunya itu, karena telah diterimanya kabar, bahwa laskar Gowa yang berjumlah besar telah mendaki ke Camba untuk menuju Bone. Dalam dua hari kepala laskar itu sudah dapat berada di Lamuru. Dengan segera dikirimnya kurir ke Soppeng dan Bone dengan membawa berita dan meminta, supaya sebagian laskar di kirim ke Lamuru untuk menyambut laskar Gowa di tempat itu. Pada hari yang ketiga barulah laskar Gowa tiba di Lamuru. Petang harinya tiba pula laskar Soppeng hampir bersamaan dengan laskar Bone. Bersatulah mereka untuk menghadapi laskar Gowa. Kedua belah pihak sama kuat. Menurut cerita masing-masing berkekuatan kurang lebih 11.000 orang.

Raja Gowa berusaha memisahkan orang Soppeng dari orang Bone. Baginda mengirim utusan kepada Datu Soppeng dengan pesan, bahwa antara Gowa dan Soppeng tidak ada perselisihan. Janganlah hendaknya orang Soppeng mau diseret oleh orang Bone untuk masuk ke liang lahat. Peperangan ini tidak berarti mengubur diri sendiri bagi orang Bone. Akan tetapi Datu Soppeng dan Arung Bila, ayah Daeng Mabela menjawab, bahwa Soppeng telah bertekad akan sehidup semati dengan saudaranya Bone berdasarkan perjanjian tiga negara (TellumpoccoE) di Timurung.
Ketika utusan menyampaikan jawaban datu Soppeng itu kepada Raja Gowa, baginda berkata: “ Baiklah jika demikian, Soppeng rasakan serangan Gowa!”. Diperintahkannya menyerang Soppeng dan Bone bersama-sama. Kedua belah pihak bertempur dengan tanpa mengenal maut. Datu mario yang kini telah pula bergelar Arung Palakka memimpin laskar yang terdiri dari orang-orang Mario, orang-orang Palakka, dan mereka yang pernah menjadi penggali parit di Gowa. Pada petang harinya sebuah panji orang Soppeng dapat direbut oleh musuh. Pasukan Arung Bila telah tewas sebanyak empat puluh orang. Untunglah malam tiba. Kedua belah pihak mundur ke markas masing-masing. Keesokan harinya orang Bone dan Soppeng mulai menyerang laskar Gowa terdesak mundur, terkepung oleh lawan-lawannya.

Tiba-tiba Orang Soppeng mendapat berita, bahwa laskar Wajo, sekutu Gowa telah melintasi perbatasan Soppeng – Wajo. Negeri-negeri yang mereka lalui habis dibakar. Datu Soppeng memerintahkan laskarnya berbalik meninggalkan medan pertempuran lamuru untuk kembali menghadapi laskar wajo. Akan tetapi laskarnya telah letih, sedangkan laskar wajo masih segar dan jumlahnya pun lebih besar. Setelah bertempur berhari-hari laskar Soppeng menyerah.

Arung Bila Tua ayah Daeng Mabela lari menyingkir ke pegunungan Letta. Putrinya We Dimang menyingkir ke arah timur dikawal oleh adiknya, yakni Daeng Mabela. Ibunya dengan dikawal oleh Arung Appanang menyingkir ke Mampu. Laskar Bone setelah ditinggalkan oleh laskar Soppeng, mundur teratur masuk ke daerah Bone Utara. Dikejar dari belakang oleh laskar Gowa. Mampu, Timurung, dan Sailong menjadilah medan perang. Sial bagi orang Bone laskar wajo yang telah selesai tugasnya di Soppeng karena laskar Soppeng telah menyerah, kini bersatu dengan laskar Gowa.

Namun orang Bone tidaklah putus asa. To Bala dan Arung Palakka selalu berada di garis depan. Seolah-olah mereka sengaja mencari maut. Sikap kedua orang panglimanya membakar semangat orang-orang Bone sehingga mereka berkelahi pula dengan tidak mengindahkan maut. Pertempuran ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang akhirnya keduanya berdamai. Dalam proses perang dan damai antara kedua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini, yaitu antara Gowa dan Bone. Maka akhirnya Datu Mario Arung palakka La Tenri Tatta Petta Malampe’E Gemme’na pada tanggal 6 April 1698 di dalam istananya di Bontoala dengan amanatnya sebelum wafat, supaya Baginda di makamkan di Bukit Bontobiraeng dalam wilayah kerajaan Gowa. Juga permaisuri baginda yang teramat dicintainnya I Mangkawani Daeng Talele dan telah ikut bersama Baginda mengalami suka duka perjuangannya, turut pula dimakamkan di tempat itu sesuai dengan amanat baginda Arung Palakka sendiri.
More aboutSejarah Arung Palakka

Sejarah Sultan Hasanuddin

Diposting oleh chaldot




Sultan Hasanuddin (11 Januari 1631 – 1 Juni 1670), Raja Gowa ke-16, terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Peperangan Yang Dihadapi  Sultan Hasanuddin
Peperangan antara VOC dan Sultan Hasanuddin di mulai tahun 1660. Saat itu Belanda dibantu Kerajaan Bone yang merupakan taklukan Kerajaan Gowa. Pada pertempuran sengit, panglima Perang Kerajaan Bone Tobala tewas tetapi Aru Palaka berhasil meoloskan diri. Perang kemudian di akhiri dengan perjanjian perdamaian.
Perjanjian yang disepakati tidak berlangsung lama, karena Sultan Hasanuddin yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda yaitu Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah lalu mengirimkan pasukan di pimpin Cornelis Speelman. Aru Palaka juga membantu Belanda menyerang kerajaan gowa.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
More aboutSejarah Sultan Hasanuddin

Kesultanan Gowa

Diposting oleh chaldot

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu.
Sejarah awal

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan namaBate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Abad Ke-16


Tumapa’risi’ Kallonna

Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa’risi’ Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa “daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil“. Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa’risi’ Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa’risi’ Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.


Tunipalangga

Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah: 
  1. Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
  2. Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
  3. Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
  4. Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
  5. Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
  6. Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
  7. Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
  8. Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
  9. Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
  10. Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
  11. Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
  12. Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.
More aboutKesultanan Gowa

Cerpen : Harga Mati

Diposting oleh chaldot on Senin, 26 Maret 2012

Yang namanya lelaki, yang namanya lelaki dewasa, yang namanya mahasiswa, yang namanya dewasa apalagi mahasiswa, tentu saja Harun tak mau harga dirinya diinjak-injak kendati pun ia tahu penginjaknya orang yang punya taring lebih kuat 10 kali dari giginya.

Harun sadar lelaki yang telah menginjak harga dirinya dengan perkataan  : "Kamu itu Siapa? Kuliah belum selesai, pekerjaan calo STNK, sepeda motor beli setengah pakai, kredit lagi. pikir dong.... bukan saya matrealistis, tapi makan perlu untuk hidup. lantas akan makan batukah nanti anakku dan kamu?!", adalah lelaki pengusaha yang cukup disegani di kota ini. Tetapi Harun bukan manusia abnormal yang tidak bisa marah!

Ya, lelaki manakah yang tidak naik pitam. Ayo, lelaki dewaasa dan mahasiswa manakah yang tak emosioal mendengar perkataan seperti itu?

begitulah Harun, kendatipun tanpa jawaban, dibalikkannya badannya lalu membelakangi lelaki yang masih berdiri di pintu rumahnya dengan angkuh, padahal Harun tahu persis, Rini di dalam rumah masih 100 persen mencintainya.

dengan tatapan sinis yang terakhir harun meninggalkan rumah itu. Dadanya serasa pecah, gemuruh emosi dan sejuta dendam kian menjeratnya. tapi barangkali juga ia lelaki dewasa sejati. lihatlah, ia tapaki trotoar jalan Dr. Ratulangi dengan langkah mantap dan penuh keyakinan.

Di rumah, ia segera mengambil pulpen dan menulis begini :

orang tua,
kamu benar, saya masih kuliah, saya masih kredit motor, saya calo STNK tapi itu pandangan lahiriamu. di Makassar, ayah saya pengusaha ternama, tiga rumahnya, diantaranya akan dihadiahkan padaku satu buah. di loa janan, sebuah SawMilk mllik saya. jangan terkejut semua yang orang tua saksikan dan dengar selama ini  hanya kamuflase dan uji coba dari saya, apakah orang tua mengukur kecantikan anak dengan harta dan jaminan ekonomi.

orang tua Rini,
sekarang tanpa seijinmu saya sebut orang tua dengan : kamu! hei, apakah kamu belum pernah tahu bahwa induk perusahaanmu itu adalah milikku? kamu bego, besok akan kuadakan rapat istimewa dengan direksi untuk menutup perusahaanmu. Akan kukatakan kepada pihak Pemerintah Daerah bahwa bidang usaha perusahaanmu akan dialihkan dan direkturnya diganti. Akan kupanggil besok pengacaraku dan kubawa ia untuk menghadap notaris dan menyelesaikannya.

kamu, dasar tolol!
orang tua picik. kamu kira anakmu Rini itu dapat kamu jadikan barang berharga? kamu kira kecantikannya itu dapat dijadikan modal setelah kamu saya pecat? saya sesungguhnya kasihan mengapa kamu tidak mencoba menyelidiki siapa sesungguhnya saya, lelaki dewasa dan mahasiswa atau seorang pengusaha besar, induk perusahaanmu yang khusus ke kota ini? Kamu bodoh!

ya, saya memang mencintai Rini anakmu. Tapi sikapmu yang sok kaya, sok pengusaha tadi pagi membuat aku muak, dan kasihanku pada anakmu yang morfinis itu lenyap sama sekali.

aha, kamu kaget kukatakan bahwa anakmu morfinis? hanya aku yang tahu dan dua orang temannya. Nah..... jangan panik. Anakmu telah mengisap morfin sejak SMP kelas dua tahun 2003.

aku memang tertarik ketika tiga bulan yang lalu aku mengadakan evaluasi terhadap kerja orang-orang di kota ini, termasuk kamu. aku berniat menikahinya setelah tiga bulan ini. dibalik kasihan memang aku cinta pada anakmu. tapi sekali lagi, kamu terlalu gegabah, tidak tau siapakah aku ini?

okelah ... aku hanya, menceritakan tentang ini saja, sebab jika terlalu banyak aku kuatir kamu tambah pusing, karena jabatanmu sebentar lagi harus kamu letakkan dan rumah kontrakan yang dibayar perusahaan harus ditinggalkan, sementara anakmu yang morfinis itu barangkali saja makin panik, dan siapa tahu bunuh diri.

cherio.....
dari lelaki yang pernah kau usir

Harun melipat kertas itu rapi-rapi, kemudian ia masukkan kedalam amplop, dengan tergesa-gesa ia keluar rumah memanggil adiknya yang duduk di kelas 3 SMP, lalu dengan sedikit gugup, ia minta agar selekasnya surat itu dikirim kerumah RINI.
More aboutCerpen : Harga Mati

Kisah : Perempuan dalam Imajinasi

Diposting oleh chaldot on Rabu, 21 Maret 2012

kalian datang layaknya air hujan yang selalu membasahi tubuhku dan bagaikan sinar mentari yg kembali mengeringkan_ku. tpi tak dapat kusangkal jika kalian telah mencuri kebebasan dalam hidupku.....

mestikah aku kembali ketika kalian merengek di belakangku, mengucurkan mutiara-mutiara dari mata indahmu, mengeluarkan suara isak dari bibir merahmu atau  menarik tanganku dengan jemari-jemari lentikmu..????

yang kuharapkan kalian mengisi hari-hariku dengan canda tawa dan segala kesenangan bukan merampasnya dariku dan memberikan beban seperti batu gunung yang menghantam kepalaku, atau kalian memang ditakdirkan hanya untuk merusak kehidupanku dan bukan memberikan kebahagiaan dalam hidup ini.

yaaa... yaaa.... ini memang suratan darinya dan tak mungkin kutolak untuk kujadikan alasan untuk menjauhi kalian karena kalian adalah sebagian dalam hidupku... namun keyakinan ini akan sebagian dari kaummu masih ada untukku.

mereka yang punya rasa, cinta, dan harmonisasi dalam memandang kaumku sebagai seorang yang layak melindungi mereka dalam bentuk apapun, hanya itu yang bisa menjadi pegangan bagiku.

sementara waktu biarkanlah kalian merampas kebebasanku sampai akhrnya tiba dan dia "Perempuan Dalam Imajinasiku" datang dalam bentuk yang lebih indah.....
More aboutKisah : Perempuan dalam Imajinasi

Nene Mallomo

Diposting oleh chaldot

Nene Mallomo adalah Salah satu Tokoh Cendikiawan yang me-Legenda di Sidenreng Rappang yang telah menjadi land Mark Kerajaan Sidenreng Rappang pada Abad ke-16 Masehi.

Banyak Sumber yang mengatakan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Beliau meninggal Tahun 1654 M di Allakuang, dan salah satu mottonya yang terkenal dan menjadi motivasi kerja adalah “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.

Nene Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene, Mallomo merupakan seorang laki-laki, walaupun kata nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia.

Nama asli Nene’Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’Mallomo adalah La Makkarau. Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya.
More aboutNene Mallomo